Bersuci dan Shalat Orang Yang Sakit

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya semua. Amma ba’du:

Pengantar

Di antara bukti tingginya kedudukan shalat  dalam Islam dan pentingnya adalah diwajibkannya ibadah ini meskipun seseorang dalam keadaan sakit, betapa pun berat sakit, tentunya hal ini disesuaikan dengan kemampuannya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (Terj. QS. At Taghaabun: 16)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"صَلِّ قَائِمًا, فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا, فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ"

“Shalatlah sambil berdiri, jika tidak mampu, maka sambil duduk dan jika tidak mampu, maka sambil berbaring.” (HR. Bukhari dari Imran bin Hushshain)

Hadits di atas menunjukkan bahwa shalat fardhu tidak dilakukan sambil duduk kecuali ada uzur, yaitu tidak mampu (berdiri), termasuk pula orang yang khawatir mendapatkan bahaya berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Wa maa ja’ala ‘alaikum fid diini min haraj” (artinya: Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak mengadakan kesempitan dalam agama ini (Al Hajj: 78)). (Lihat Subulus Salam 2/204)

Dalam Subulus Salam juga diterangkan, bahwa hadits tersebut tidak menerangkan cara duduknya, namun kemutlakannya menghendaki sahnya dengan cara bagaimana pun yang dikehendaki orang yang shalat, dan inilah yang dipegang oleh jamaah para ulama. Al Haadiy dan lainnya berpendapat, bahwa sebaiknya ia duduk bersila dengan menaruh kedua tangannya di atas kedua lututnya. Demikian pula seperti itu ulama madzhab Hanafi. Adapun Zaid bin ‘Ali dan jamaah para ulama berpendapat bahwa duduknya seperti duduk tasyahhud. Ada yang berpendapat, bahwa perselisihannya adalah tentang yang paling utama dalam hal cara duduknya. Al Haafizh dalam Fathul Bari berkata, “Diperselisihkan tentang (duduk) yang paling afdhal, menurut imam yang tiga adalah bersila[i]. Ada pula yang berpendapat duduk iftirasy, dan ada pula yang berpendapat duduk tawarruk (seperti pada tasyahhud akhir), dan pada masing-masingnya ada haditsnya.”

Sebelum membahas lebih lanjut cara shalat orang yang sakit, maka di sini akan kami terangkan cara bersuci orang yang sakit.

Bagaimanakah orang yang sakit bersuci?

  1. Orang yang sakit wajib bersuci dengan air. Oleh karena itu, ia harus berwudhu’ karena hadats kecil dan mandi karena hadats besar.
  2. Jika ia tidak sanggup bersuci dengan air karena ketidaksanggupannya, atau takut bertambah sakitnya atau bertambah lama sembuhnya, maka ia bertayammum.
  3. Cara tayammum adalah ia tepuk bumi yang suci dengan kedua tangannya sekali tepuk, lalu ia usap seluruh mukanya, kemudian ia usap kedua telapak tangannya yang satu dengan yang lain.
  4. Jika ia tidak sanggup bersuci sendiri, maka orang lain yang mewudhukannya atau mentayammumkannya.
  5. Jika pada sebagian anggota badan yang harus dibasuh terdapat luka, maka ia basuh dengan air. Tetapi jika membasuh dengan air membuatnya sakit, maka ia usap saja, yaitu ia basahkan tangannya dengan air, lalu ia jalankan tangannya ke atasnya, tetapi jika mengusapnya malah membuatnya sakit, maka ia mentayammumkannya.
  6. Jika pada salah satu anggota badannya ada yang patah yang diikat dengan kain atau digip, maka ia usap atasnya dengan air sebagai ganti dari membasuhnya, dan tidak perlu bertayammum, karena mengusap merupakan ganti dari membasuh.
  7. Boleh bertayammum ke dinding atau ke atas sesuatu yang suci yang memiliki debu. Tetapi jika dindingnya dicat, maka ia tidak boleh bertayammum kepadanya kecuali jika ada debunya.
  8. Jika tidak memungkinkan bertayammum ke bumi, dinding atau sesuatu yang lain yang memiliki debu, maka tidak mengapa diletakkan tanah dalam sebuah wadah atau sapu tangan, dimana ia bertayammum darinya.
  9. Apabila ia bertayammum untuk shalatnya dan masih di atas kesuciannya sampai waktu shalat berikutnya, maka ia (boleh) melakukan shalat itu dengan tayammum pertama, dan tidak perlu mengulangi tayammumnya untuk shalat kedua, karena ia senantiasa di atas kesuciannya dan tidak menemukan sesuatu yang membatalkannya.

10.Orang yang sakit wajib membersihkan badannya dari najis. Jika tidak bisa, maka ia tetap shalat di atas keadaannya itu dan shalatnya sah tidak perlu diulangi.

11.Orang yang sakit wajib shalat dengan pakaian yang suci. Jika pakaiannya bernajis, maka wajib dicuci atau diganti dengan pakaian yang suci. Tetapi jika, tidak mungkin melakukannya, maka ia tetap shalat dalam keadaannya, dan shalatnya sah tanpa perlu diulangi.

12.Orang yang sakit wajib shalat di atas sesuatu yang suci. Jika tempatnya bernajis, maka wajib ia cuci atau ia ganti dengan sesuatu yang suci atau ia taruh di atasnya sesuatu yang suci. Tetapi, jika tidak mungkin, maka ia tetap shalat dalam keadaannya dan shalatnya sah tanpa perlu diulangi.

13.Tidak boleh bagi orang yang sakit menunda shalat sampai habis waktunya karena tidak bisa bercuci, bahkan ia harus bersuci dengan yang bisa dilakukan, lalu shalat pada waktunya meskipun badannya, pakaiannya atau tempat shalatnya masih ada najis yang ia tidak sanggup membersihkannya (lihat risalah Kaifa yatathahharul mariidh wa yushalli oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah).

Faedah:

Orang yang tertimpa beser dan tidak sembuh setelah diobati, maka ia harus berwudhu’ untuk setiap shalat setelah masuk waktunya, dan ia basuh sesuatu yang menimpa badannya, dan ia pakai pakaian yang suci jika tidak menyulitkannya. Jika ternyata menyulitkan, maka dimaafkan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Wa maa ja’ala ‘alaikum fid diini min haraj” (artinya: Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak mengadakan kesempitan dalam agama ini (Al Hajj: 78)). Dan hendaknya ia menjaga dirinya agar kencingnya tidak menyebar ke pakaiannya, badannya atau tempat shalatnya (lihat Ahkaam Shalaatil Mariidh oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz).

Bagaimanakah orang yang sakit melakukan shalat?

  1. Orang yang sakit wajib melaksanakan shalat fardhu dengan berdiri, meskipun bersandar ke dinding atau ke tiang atau dengan tongkat.
  2. Jika tidak sanggup shalat berdiri, hendaklah ia shalat sambil duduk. Pada waktu berdiri dan ruku' sebaiknya duduk bersila, sedangkan pada waktu akan sujud, sebaiknya dia rubah duduknya menjadi iftirasy (seperti duduk ketika tasyahhud awal) agar bisa melakukan sujud dengan sempurna.
  3. Jika tidak sanggup shalat sambil duduk, boleh shalat sambil berbaring, bertumpu pada sisi badan kanan menghadap kiblat. Dan bertumpu pada sisi kanan lebih utama daripada sisi kiri. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap ke kiblat, boleh menghadap ke mana saja dan tidak perlu mengulangi shalatnya.
  4. Jika tidak sanggup shalat sambil berbaring, ia boleh shalat sambil terlentang dengan menghadapkan kedua kaki ke kiblat. Yang lebih utama yaitu dengan mengangkat kepala sedikit untuk menghadap kiblat. Jika tidak bisa menghadapkan kedua kakinya ke kiblat, dibolehkan shalat menghadap ke mana saja.
  5. Orang sakit wajib melaksanakan ruku' dan sujud. Jika tidak sanggup, cukup dengan membungkukkan badan pada waktu ruku' dan sujud, dan ketika sujud hendaknya lebih rendah dari ruku'. Jika sanggup ruku' saja dan tidak sanggup sujud, dia boleh ruku' saja dan menundukkan kepalanya saat sujud. Demikian juga sebaliknya, jika dia sanggup sujud saja dan tidak sanggup ruku', dia boleh sujud saja dan ketika ruku' dia menundukkan kepala.
  6. Jika tidak mampu berisyarat dengan kepala di waktu ruku’ dan sujud maka boIeh berisyarat dengan mata, yaitu dengan memejamkan mata sedikit ketika ruku' dan dengan memejamkan lebih kuat ketika sujud. Adapun isyarat dengan telunjuk, seperti yang dilakukan sebagian orang yang sakit adalah keliru.
  7. Jika tidak sanggup shalat berisyarat dengan kepala atau berisyarat dengan mata, hendaknya ia shalat dengan hatinya, ia bertakbir, membaca Al Qur’an dan berdzikr shalat lainnya, dia berniat ruku' ketika ruku’, berniat sujud dan sebagainya. Masing-masing orang akan diberi pahala sesuai dengan niatnya.
  8. Orang yang sakit wajib melaksanakan shalat setiap shalat pada waktunya dan melakukan semua yang bisa dia lakukan berupa perbuatan yang wajib di dalamnya. Jika ia kesulitan melakukan setiap shalat pada waktunya, maka ia boleh menjama’ (menggabung) antara shalat Zhuhur dengan Ashar, serta shalat Maghrib dengan Isya, baik dengan jamak taqdim (di waktu shalat yang pertama) maupun dengan jamak ta’khir (di waktu shalat yang kedua) sesuai yang mudah baginya. Adapun shalat Subuh, maka tidak bisa dijama’ dengan shalat sebelumnya maupun sesudahnya.
  9. Jika orang yang sakit sebagai musafir yang sedang berobat di negeri lain, maka ia mengqashar shalat yang berjumlah empat rakaat menjadi dua rakaat sampai ia kembali ke negerinya, baik safarnya lama atau sebentar.

Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Maraaji’: Subulus Salam (Imam Ash Shan’aani), Nailul Awthar (Imam Asy Syaukani), Kaifa yatathahharul mariidh wa yushalli (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin), Ahkaam Shalaatul Maridh (Syaikh Ibnu Baz), Modul Fiqh SD (penyusun), Tuntunan Shalat Menurut Al Quran dan Hadits (Syaikh Abdurrahman Al Jibrin) dll.

 

[i] Para ulama berkata, “Sifat bersila adalah dengan menjadikan bagian bawah kaki kanannya di bawah pahanya yang kiri dengan tenang, dan kedua telapak tangan di atas kedua lututnya dengan membuka jari-jarinya seperti orang yang ruku’ (Subulus Salam 2/149).