Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Berikut pembahasan tentang adab guru dan murid merujuk kepada bagian akhir kitab Musthalah Hadits karya Syaikh Ibnu Utsaimin, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Faedah ilmu dan buahnya adalah mengamalkan ilmu yang diketahuinya. Barangsiapa yang tidak mengamalkan ilmunya, maka ilmunya akan menjadi musibah baginya dan hujjah yang akan menyengsarakannya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ

“Dan Al Qur’an itu hujjah yang akan membelamu atau yang menyengsarakanmu.” (Hr. Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah)

Masing-masing guru dan murid memiliki adab yang patut diperhatikan, di antaranya ada yang menjadi adab bagi keduanya dan ada juga yang khusus bagi salah satunya.

Adab Guru dan Murid

Yang menjadi adab bagi keduanya (guru dan murid) adalah sebagai berikut:

  1. Mengikhlaskan niat karena Allah, yakni belajarnya dan mengajarkannya sebagai bentuk pendekatan dirinya kepada Allah dengan menjaga syariat-Nya, menyebarkannya, menghilangkan kebodohan yang menimpa dirinya dan manusia. Barang siapa yang meniatkan dalam belajarnya karena hendak memperoleh kesenangan dunia, maka sama saja telah menyiapkan dirinya kepada siksa. Di dalam hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda,

«مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»

“Barangsiapa yang mencari ilmu yang seharusnya diniatkan karena Allah, namun ia belajarnya untuk memperoleh salah satu dari kesenangan dunia, maka ia tidak akan mencium wanginya surga.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)

Dan telah ada riwayat bahwa Beliau bersabda,

«مَنْ طَلَبَ العِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ العُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ»

“Barangsiapa yang menuntut ilmu agar sejalan dengan ulama (dalam perdebatan), atau agar dapat mendebat orang-orang yang bodoh, atau agar perhatian manusia kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka.” (HR. Tirmidzi)[i]

  1. Mengamalkan ilmu yang diketahuinya, siapa saja yang mengamalkan ilmunya, niscaya Allah akan memberikan kepadanya ilmu yang tidak diketahuinya. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ

“Dan oraang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketakwaannya.” (Qs. Muhammad: 17)

Sebaliknya, barang siapa yang meninggalkan mengamalkan ilmunya, bisa saja Allah mencabut ilmunya, Allah Ta’ala berfirman,

فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ

“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang telah diperingatkan kepada mereka dengannya.” (Al Maa’idah: 13)

  1. Berakhlak dengan akhlak yang mulia, seperti sopan, berperilaku baik, bersikap lembut, memberikan hal yang ma’ruf, siap memikul gangguan, dan akhlak-akhlak lainnya yang dipuji oleh syara’ atau ‘uruf (adat) yang lurus.
  2. Menjauhi akhlak yang hina, seperti berkata keji, mencaci-maki, menyakiti, bersikap kasar, kurang hati-hati dalam berkata dan bersikap serta akhlak-akhlak lainnya yang pelakunya dicela baik secara syara’ maupun ‘uruf yang masih lurus.

Adab Guru

  1. Berusaha menyebarkan ilmu dengan berbagai sarana, memberikannya kepada orang yang memintanya dengan wajah ceria dan lapang dada, senang dengan nikmat Allah berupa ilmu dan cahaya-Nya serta dimudahkan memperolehnya. Dan hendaknya ia berhati-hati dari menyembunyikan ilmu pada saat orang-orang butuh penjelasannya atau saat diminta penjelasan oleh seorang penanya. Dalam hadits, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ عَلِمَهُ ثُمَّ كَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ القِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ»

“Barangsiapa yang ditanya tentang suatu ilmu, lalu dia menyembunyikannya, maka akan dipakaikan kepadanya tali kekang (kendali) dari api pada mulutnya di hari Kiamat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)[ii]

  1. Bersabar terhadap gangguan dari murid dan buruknya cara bergaul mereka, agar ia memperoleh pahala orang-orang yang bersabar, serta dapat melatih mereka bersabar dan siap memikul gangguan dari orang lain. Tentunya, dengan disertai pengarahan, bimbingan dan sering mengingatkan dengan hikmah terhadap sikap buruk yang mereka (para murid) lakukan terhadapnya, agar wibawanya tidak hilang dari hati mereka, akibatnya usaha kerasnya mengajarkan mereka pun hilang.
  2. Hendaknya dia memberikan contoh di hadapan para murid dengan ibadah dan akhlak yang patut dilakukan, karena guru itu lebih banyak ditiru oleh muridnya, sikapnya ibarat cermin, dimana ibadah dan akhlaknya tergantung kepadanya.
  3. Hendaknya ia menempuh cara yang lebih dapat menyampaikan ilmu kepada muridnya dan menahan diri dari hal yang dapat menghalangi hal tersebut. Oleh karena itu, ia menggunakan kata-kata yang jelas dan dapat dipahami sekaligus menanamkan rasa cinta di hati mereka, agar ia mudah mengarahkan mereka dan mereka mau mendengarkan kata-katanya serta siap menerima arahannya.

Adab Murid

  1. Mengerahkan kemampuan untuk memperoleh ilmu, karena ilmu tidak mungkin diperoleh dengan santai bermalas-malasan. Oleh karena itu, ditempuhnya semua cara yang dapat menghasilkan ilmu. Di dalam hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (HR. Muslim)

  1. Mendahulukan yang lebih penting dahulu, tentunya yang dibutuhkannya berupa ilmu tentang masalah agamanya dan dunianya, karena hal itu termasuk hikmah (kebijaksanaan). Allah Ta’ala berfirman,

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

“Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Hanya orang-orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Qs. Al Baqarah: 269)

  1. Tawaadhu’ dalam mencari ilmu, yakni dengan tidak sombong dalam mengambil faedah dari siapa saja, karena tawadhu’ dalam hal ilmu merupakan ketinggian, rendah hati dalam mencarinya merupakan kemuliaan. Betapa banyak orang yang lebih sedikit ilmunya daripada anda secara umum, namun ia memiliki ilmu dalam masalah tertentu yang tidak kamu ketahui.
  2. Menghormati guru dan memuliakannya secara layak, karena guru yang memberikan nasehat seperti seorang bapak, ia memberikan makanan bagi jiwa dan hati dengan ilmu dan iman. Maka termasuk haknya adalah dimuliakan oleh murid dan dihormatinya secara pantas tanpa berlebihan dan tanpa meremehkan. Kalau pun hendak bertanya, maka pertanyaannya menunjukkan rasa minta saran, bukan bertanya dengan nada menantang apalagi menyombongkan diri, dan hendaknya ia siap memikul sesuatu yang diperolehnya dari gurunya berupa sikap kasar, keras, dan mudah membentak. Karena hal itu, bisa saja disebabkan oleh hal-hal luar, dimana seorang murid tidak menerima hal itu dari guru saat kondisinya jernih dan tenang.
  3. Berusaha mengingat-ingat, mencatat, dan menghafal apa yang dipelajarinya dalam hatinya atau mencatat dalam bukunya, karena manusia mudah lupa. Jika tidak seperti itu, ia akan melupakan ilmu yang dipelajarinya dan tentu akah hilang darinya, bahkan ada yang berkata,

اَلْعِلْمُ صَيْدٌ وَالْكِتَابَةُ قَيْدُهُ

قَيِّدْ صُيُوْدَكَ بِالْحِبَالِ الْوَاثِقَةِ

Ilmu adalah binatang buruan, menulis adalah pengikatnya, maka ikatlah binatang buruanmu dengan tali-tali yang kuat.

Termasuk kebodohan ketika kamu berhasil memburu rusa, namun kamu lepaskan begitu saja di tengah-tengah manusia.

Hendaknya ia berusaha menjaga sebaik-baiknya buku-buku miliknya agar tidak hilang dan memeliharanya dari bencana yang mungkin datang, ia merupakan simpanannya di masa hidup dan rujukannya saat dibutuhkan.

(Lihat bagian akhir kitab Musthalah Hadits karya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah).

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Kutubus Sittah, Musthalah Hadits (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin), dll.